Menjejal lagi pagi pada sebuah mimpi
kecil ini. Dimana sebuah tempat mengarungi dalam lamunku, melewati jeram terjal
hingga menjemput pelangi di Tanah Sumatra. Gunung Dempo yang tepat berada di
Pagar Alam Sumatra Selatan sejenak hening, bisikan tentang langkah yang harus
diinjjakkan disana. Dengan ketinggian 3159mdpl gunung ini termasuk gunung
dengan karakter hutan basah, yang dimana pohon tinggi menemani setiap lelahku.
Hingga akhirnya perjalananku dimulai, menuju mimpi yang dulu hanya pada batas
angan-anganku saja.
Dimulai dari Yogyakarta, sebuah kota yang menurutku telah menuntunku pada
gerbang-gerbang kecil perjalananku, menjadi saksi dimana kaki ini harus
berpijak. Sekitar pukul 15.30 WIB dentum kereta Progo perlahan berjalan
membawaku menuju kota padat yang hiruk pikuk nya tak terbatas sampai kita
bertemu malam. Dan dari kota Padat Ibukota, kembali aku harus segera menuju
Bogor, yang nantinya aku akan bertemu 2 sahabat yang kita bertiga akan mencoba
tanah basah pegunungan Sumatra.
Sehari aku beristirahat di kota Hujan
hingga tepat 16 Desember kita berangkat meninggalkan pulau jawa, Terminal bus Kampung Rambutan adalah
start awal kita bertiga. Arys Kristiawan, Ekki Aditya dan Alvian Fendy yaitu
saya sendiri mendekati mimpi kita menuju tanah Sumatra. Bus Sinar Dempo tujuan
langsung Kota Pagar Alam telah menunggu, seperti jadwal yang di tentukan yaitu
jam 11.00 WIB bis sudah perlahan berangkat.
|
Bis Sinar Dempo yang kita Tumpangi |
Kali ini kita harus mencumbu pagi
hingga merangkul malam pada kaca dinding jendela bis. Hingga kusapa selat pada
batas senja juga purnama saat itu. Kami tiba di merak sekitar pukul 17.00 dan
Kilauan jingga menutup di atas gelombang yang tenang. Pada akhirnya tiba kita pada
titik awal kota Pagar Alam, sebuah kota dengan kedamaian yang sejuk. Keramah
tamahan yang berbisik pada jabat erat tangan yang mengundang.
Kita langsung dijemput oleh salah
satu sahabat dan saudara baru kita dari Mapala Muhammadyah, yaitu KOMPAS, yang basecampnya tak jauh dari
pemberhentian bus Sinar Dempo. Tiba di basecamp, secangkir kopi hangat langsung
mengawali obrolan panjang tentang seluk beluk Gunung Dempo. Ramai saat itu,
sekitar pukul 15.00 wib, karena ada jam perkuliahan mereka di mulai dari sore
hingga petang.
|
Basecamp Mapala Kompas |
Untuk cuaca sendiri, Kota Pagar Alam
yang tak jauh dari kaki Gunung Dempo memiliki suhu yang cukup dingin juga.
Hingga gayung kamar mandi tak sanggup memaksa ku untuk berbesih diri. Menginap
satu malam sebelum ke esokan paginya kita berangkat menuju kampung IV, yaitu
kampung terakhir yang berada tepat di sela perkebunan the dan di kaki gunung
dempo.
Ditemani 2 orang dari KOMPAS, yaitu
melky dan rafles kita akhirnya berangkat menuju kampung IV pagi sekitar pukul
09.00 WIB. Setelah segalanya siap dari logistik, P3K, perlengkapan pendakian
dan pastinya semangat kita untuk mencapai TOP Dempo dengan ketinggian 3159mdpl.
|
Basecamp KOMPAS |
|
Start awal pendakian |
Day 1, start
pendakian kali ini saya dari bawah kampung 4, sebuah titik awal perjalanan yang
menakjubkan dengan hamparan hijau perkebunan the dari PTPN yang membentang di
sepanjang langkah kita menapak. Sebenarnya bisa kita start langsung dari pintu
rimba jalur kampung IV, akan tetapi karena ada salah satu teman yang mempunyai
keperluan akhirnya kita hanya di batas aspal saja, sebelum kampung IV.
Perjalanan dari titik awal pendakian kita menuju kampung IV memakan waktu 1 jam.
Dan kita istirahat sejenak ketika sesampainya di kampung IV, sebuah kampung
kecil yang asri dan sejuk, di huni sekitar 30 keluarga. Langsung menuju rumah
pak RT, untuk laporan pendataan siapa saja yang akan naik. Sambil menikmati
secangkir teh Dempo hangat sebelum kembali melanjutkan perjalanan panjang kita.
Pukul 12.30,
setelah adzan dzuhur langkah ini harus segera menapakkan, sebelum terlarut lama
di kampung IV yang memang sebenarnya saying untuk di tinggalkan. Perjalanan
masih dengan contour tanah dan view yang sama, dari kampung IV menuju pintu
rimba. Perkebunan the kembali menemani kita dengan kesetiaannya, Nampak sepetak
kota pagar alam dari sini, di balut kabut tipis yang seolah ingin menggumpal di
terik yang menyengat.
|
Track Perkebunan teh sebelum menuju pintu rimba |
Tiba di pintu Rimba pukul 13.30, dan sejenak kita beristirhat sejenak, dari sini sudah
Nampak jelas pohon-pohon besar menjulang tinggi di gerbang pintu rimba. Dan di
pintu rimba ini pendaki akan memulai langkah barunya dengan melewati hutan
basah yang lebat dengan contour tanah basah.
|
Pintu Rimba kampung 4 |
Sekiranya istirahat kita cukup,
perjalanan kita lanjutkan dengan tujuan shelter 1. Dan jam 14.00 WIB kaki ini kembali bergelut dengan medan yang cukup
menguras tenaga, track yang licin dan basah membuat sering kalinya saya
terpeleset di jalur ini. Nampak jenis tumbuhan paku-pakuan mendominasi di
sepanjang jalur. Akar pohon sebagai penopang langkah membentang di jalur.
Hingga nantinya kita tiba di shelter 1 yang memakan waktu 90 menit.
|
Hutan Rimba Kampung 4 |
|
Pintu Rimba kampung 4 |
Dan benar, akhirnya kita tiba di shelter 1 jam 15.45 WIB, tempat dimana
kita bisa mengisi botol minum yang kosong. Karena mata air tepat berada di
kanan jalan jalur pendakian, dengan sedikit menurun sudah terdengar gemericik
air yang seolah menawarkan kepada kita kesegaran. Shelter 1 ini mempunyai
tempat yang cukup luas juga, sekitar 4 tenda bisa didirikan di shelter 1. Cuma
rencana awal tim, kita akan mendirikan tenda di Shelter 2. Setelah kiranya
istirahat cukup, kita melanjutkan perjalanan kembali menuju shelter 2.
|
Track menuju shelter 2 yang basah |
Pukul 16.30 WIB,
kembali waktu menggerakkan langkah kecil ini. Medan shelter 1 menuju shelter 2
cukup menguras tenaga, tanjakan yang bertambah curam hingga terkadang kita di
paksa untuk berjalan menunduk untuk menghindari pohon tumbang yang menghalang
di jalur pendakian. Tanah basah dan lebat pepohonan masih mendominasi di jalur
ini. Akar pohon sebagai pijakan kaki kita melangkah dan helaian kabut tak
jarang melintas melengkapi dinginnya hutan rimba pegunungan Sumatra ini.
|
Batang pohon yang tertutup lumut |
Hingga terang perlahan sirna,
berganti malam sebagai siklus yang harus kita hadapi. Tanjakan semakin berat
dan curam, apalagi penerangan sedikit berkurang karena malam hari. Tiba pada pergantiannya, saya dan tim
istirahat sejenak di jalur untuk bergegas mengeluarkan headlamp dengan harapan
langkah ini tak goyah hanya karena malam. Setelah sekitar 3 jam berjalan dari
shelter 1 kita akhirnya sampai di shelter 2.
Tak lama segala keperluan tenda dan
logistic di keluarkan, berdirilah tenda
kami. Duduk kita pada petigaan malam yang panjang, sunyi akan penat juga hiruk pikuk suasana kota. Secangkir kopi dan teh hangat menemani
ucap kata yang seolah kita berada pada sebuah surga kecil yang menawarkan
ketenangan. Aku pun menyiapkan menu special di hari yang menurutku istemawa
ini. Menu mala mini yaitu nasi kuning, irisan telor dan tempe goreng yang di
tumpuk lalu di tabor dengan wortel goreng dan tomat.
|
Ngopi dulu di tenda |
|
Tent |
Tepat jam 00.00 WIB kita sejenak berdoan, mata sejenak terpejam rata, dan semilir angina
malam menmbawa doaku, kita dan semesta raya ini menuju impian yang teringgi
pada singgasananya. Ya, 19 Desember tepat Umur ini bertambah Tua saja,
Prosesi tiup lilin hingga potong tumpeng
dengan sederhana dan ucap doa sudah kita kumandangkan, walau dingin malam itu
menyeret kita untuk segera masuk ke dalam tenda.
|
Ritual #1 |
|
Ritual #2 |
|
Ritual #3 |
“Terima kasih Tuhan, dan pada kedalaman
malam tentang langkah. Laju ku tak terhenti hanya untuk menyebut Nama-Mu. Atas segala tetesan keringat pada gurauan
biru membentang, kupijakkan sedikit kesombonganku pada Mu. Maaf. Terima kasih
atas segala rangkaian erat tangan juga jemari jemari kecil ini yang mencoba
meraih mimpi menerjang ego. Ini adalah kesempurnaan yang kau berikan, melalui
dingin dan warna pada setiap pelangi Senja”
|
Happy birthday
|
Kini pagi menuntun kita pada segelas
teh hangat, dan tak lupa sebatang rokok mengadu oleh bara yang ter genggam.
Selamat pagi sumatra, yang senantiasa berikan rindu pada setiap langkah jejak
ini. Tepat pukul 10.00 WIB kita
melanjutkan perjalan menuju TOP DEMPO
3159mdpl, setelah perut terisi oleh kentang rebus dan roti bakar. Jarak
Antara Shelter 2 menuju top dempo memakan waktu 2 jam, katanya sih. Tapi kita
memulai dengan semangat pagi yang membara, setelah istrahat panjang di shelter
2. Track awal masih dengan tanah yang basah juga pepohonan yang tinggi, hingga
sering terdengar suara monyet bersautan. Setelah sekiranya satu jam kita
memasuki track batu, dan di sini vegetasi sudah menandakan kalau Top Dempo
sebentar lagi akan kami injak. Nafas sudah mulai tersengal, langkah sedikit
gontai karena sering kali kita menjumpai track yang memang tingkat kemiringan
nya cukup terjal. Cukup menguras tenaga dan stamina pada siang hari ini.
|
Track menuju Top Dempo |
Dan cakrawala biru siang ini seperti melambaikan tangannya mengajak ku agar segera
menapakkan kaki ini pada puncak dempo. Dan tak selang lama kita berjalan, tepat
pukul 12. 05 WIB kita akhirnya telah tiba di Puncak Dempo 3159 mdpl. Puncak
yang tinggi menjulang, dengan kikisan lereng tebing melengkapi dahagaku pada
siang yang terpancar.
“Sujudku, pada segala yang hidup. Dalam nafas dan derai mata yang
tersungkur. Detik ini kuucap hingga batas ranting dedaunan. Juga oleh Cantigi
yang bercabang, aku milikmu Tuhan dan segala yang disekelilingku”
|
Top Dempo 3159 mdpl |
|
Top Merapi dan pelataran |
Lalu kini setelah langkah ini
tertahan sejenak untuk menikmati kuasaNya, aku melanjutkan turun menuju
pelataran. Tempat dimana kita mendirikan tenda pada padang savanna yang luas. Dari
puncak dempo juga terpampang sebuah atap merapi yang membentang, dan kami esok
hari akan menuju ke sana untuk melihat keAgunganya yang taka da henti. Dari
puncak dempo turun menuju pelataran sekitar 15 menit, dan lalu langkah ini
menuju kesana, melewati aliran sungai kecil dengan gemericik yang bening.
|
Aliran telaga putri di pelataran |
Sore itu kita habiskan pada gemulai
jingga pelataran yang merona, Sautan warna pelangi menjejal mata. Meski gerimis
sore membawa gigil yang bergetar, tapi aku tak akan melewatkan keindahan ini.
Dengan paying ku abadikan setiap sudut sore di pelataran. Dan benar Jingga
adanya, sore itu penuh dengan kesunyian yang teramat hening. Hanya kudengar
rintik hujan bersautan melewati tepi garis dedaunan. Hingga kupeluk warna senja
pada guratan garis mata, menusuk menuju labirin hingga berdetak mengitari nadi
yang seolah berdetak kagum oleh rona pancarnya.
|
Sunset di Pelataran |
|
Sunset di Pelataran |
Selamat malam teman, kini kita akan melewati malam yang panjang pada sebuah ketenangan yang
tersirat. Hingga jam 09.00 wib rintik hujan tak berhenti, setidaknya perut
sudah terisi nasi goreng buatan arys kristiawan, ya nasi goreng keju. Cukup
untuk menghantarkan lelap kita menuju pagi yang sepi.
Tenda kita malam itu bocor,
seringkali aku tergugah sejenak untuk melihat air yang masuk. Akhirnya hujan
berhenti sekitar pukul 03.00 WIB.
Sebuah kabar baik untuk kita, walau sedikit menyenyakkan mimpi panjang ini. Dan
pagi kini menggugah naluri agar segera keluar menatap top merapi. Ya, puncak
merapi pagi ini terpampang jelas di sela kening yang kencang. Sebelum menuju
puncak merapi sodoran secangkir the kembali bernuansa ria pada genggam erat
tangan yang sudah beku.
Pukul 09.00 WIB
kita pun memulai mengencangkan kaki sembari berdoa agar senantiasa kelancaran,
dan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa tak henti terpancar di setiap langkah ini. Untuk
menuju Top Merapi yang tak jauh jaraknya, kita memakan waktu sekitar 20 menit.
Dan tak selang lama kita berjalan, kembali untaian cantigi atau kalau orang
disini menyebutnya kayu panjang umur kembali menyongsong jejak ini, seolah
biaskan semangat pagi untuk segera menuju ke atas.
|
Top Merapi |
Akhirnya summit
merapi terhenti pada langkah di puncak Merapi, terpaan angina kencang menjadi
saksi di balik biru nya kawahnya. Tepat pukul 10.00 wib kita berdetak kagum
melihat pesona yang taka da hentinya, sungguh mata terpana pada biru melingkar
di permukaan kawah. Kata penduduk sekitar warna kawah di puncak merapi bisa
berubah-ubah warna, dikarenakan tekanan gas yang berada di dalamnya. Warna
abu2, hijau dan biru. Dan kalau berwarna merah berarti menandakan gunung ini
akan meletus.
|
Kawah Merapi |
|
Kawah Merapi yang biru |
Kamera pun mengabadikan setiap gerak
kita di puncak merapi ini, sebagai pelangkap cerita dari segala perjalanan yang
di lalui. Jumaat 20 Desember 2013
tepatnya, kita ber 5 pada suasana yang sama. Oleh kekaguman dan kenikmatan yang
rata. Lama kita di puncak merapi, secangkir teh pun tak luput dari genggam erat
kembali. Setelah sekitar 1 jam 15 menit kita puas di atap Merapi, kita
melanjutkan perjalanan turun untuk segera menuju tenda, karena setelah adzan
dzuhur harus mulai melangkah pulang.
Tiba kami di tenda, segera lekas melihat waktu yang sudah menunjukkan jam 12.00 WIB, kita
packing pulang. Masih ada satu tanjakan lagi sebelum pulang, kita harus
melewati kembali puncak Dempo untuk mengambil jalan kekiri menuju jalur Rimau.
Jadi mau gak mau, kita harus ke puncak dempo lagi, jadi 2 kali deh ke TOP
Dempo. Semangat2.
|
Track |
Tepat jam 12.25 WIB kita berada di puncak dempo untuk yang ke dua kalinya. Saat ini kita
turun akan melalui jalur Rimau. Dari arah pelataran setelah naik menuju TOP
Dempo kita mengarah ke kiri menyisiri puncak untuk melewati jalur ini. Vegetasi
yang rapat kembali kita lewati, pepohonan yang memaksa kita seringkali harus
merangkak menunduk karena cabang pohon yang melintang. Dan waktu kita turun
memang benar, banyak orang yang melewati jalur Rimau, tidak seperti kemarin di
track Kampung 4 yang sama sekali kita tidak berjumpa dengan pendaki lain, entah
Karena memang bukan musim liburan atau jalur kampung 4 yang terlampau jauh
medannya menjadikan orang sekitar memilih untuk melewati jalur Rimau yang
notabane nya lebih pendek.
|
Tenda kita di pelataran |
|
Track dominan basah di jalur rimau dan rapatnya pepohonan |
Track basah,
dan turunan yang curam sudah menghadang di depan mata kepala, Nampak tali
webbing yang membentang turun menuju bawah, dan ini adalah titik point pertama
yang dimana kita harus melewati turunan menggunakan tali webbing yang sudah
tersedia di jalur ini. Dikarenakan tingkat kecuraman yang hamper 90 derajat,
dan jalur licin maka track Rimau ini sebagian titik dipasang tali untuk
membantu dalam melewati tanjakannya. Dan alhasih cara itu membantu, tak Cuma
sekali kita akan menemui point track dengan menggunakan tali webbing dan dadung
yang di ikat di batang pohon, dari puncak hingga shelter 2 Rimau kita akan
melewati point track seperti ini sebanyak 4 kali, dengan tingkat kecuraman yang
sama.
|
Turunan yang Curam |
|
Track turun Rimau |
|
Shelter 1 rimau |
Tiba kita di shelter 2 setelah berjalan selama 2,5 jam dari Top Dempo. Di sini tidak
juga terdapat air, karena memang jalur Rimau tidak terdapat sumber mata air.
Dan di shelter 2 tidak begitu besar, paling hanya muat untuk 2 tenda kapasitas
4 orang, dan tanah basah juga tidak begitu kondusif untuk mendirikan tenda
disini kalau emang tidak urgent. Dari shelter 2 kita harus melanjutkan
perjalanan turun menuju shelter 1 dengan kembali ke vegetasi hutan yang rapat.
Tanah berlupur seringkali menggoyahkan langhakah kita pada medan yang curam.
|
Korban Tradisi |
Dari shelter 2 menuju shelter 1 kita tempunh dengan waktu 1,5 jam. Cukup menguras tenaga,
hingga terkadang kita berhenti untuk sejenak menghela nafas di balik rapatnya
belantara. Dari shelter 2 kita akan menuju gerbang rimba pintu Rimau, yang kita
lalui sekitar 20 menit dari shelter 2. Akhirnya, Nampak padang rumput yang luas
pertanda gerbang rimau sudah hamper mendekat. Total perjalanan turun kita dari
puncak Dempo menuju Rimau 4,5 jam.
|
Rimau |
Dan akhirnya perjalananku di Tanah
Sumatra, Gunung Dempo pagar Alam selesai,
“Ini hanya segelintir cerita dari sebuah mimpi panjangku,
menembus batas kedalaman dan menyusuri biru cakrawala. Pada doa kita berpijak,
menuruni tebing curam, dan seketika semangat itu berlari membawa ego yang beku
di ketinggian. Kau telah memeluk ku Indonesia, dengan segelintir waktu dan ruang kita berjabat dan kau telah menidurkanku Indonesia melalui mimpi panjang menyusuri batas khayalku. Dan setiap pergantiaanya, sejenak mata ini terpejam mendesis seperti ular derik di perbatas gurun. Lalu aku masih tersujud pada kehenengingan-Mu. Hingga mimpi menghantarkan pada sebuah surga yang nyata"
Terima kasih Tuhan Yang Maha
Esa, kedua orang tuaku yang telah banyak mengajarkan tentang perjalanan hidup,
komunitas kopi liar Indonesia, mapala kompas muhhamadyah pagar alam, penghuni
basecamp kopi liar Yogyakarta. We are you, and this is ways for u.
|
sea |
|
menikmati sunset di Selat Sunda |
|
Menu di Jalur Sumatra (13ribu saja) lele,tahu,tempe,sayur asem) |
|
Sweet Moment in Mountain |
|
Happy Birthday |
|
Shelter 2 kampung 4 |
|
Puncak Dempo 3159mdpl |
|
Pelataran |
|
In the Tent |
|
Rainbow |
|
Sunset in Pelataran |
|
Kado Ulang Tahun |
|
we are you |
|
Saparatoz...!!! |
|
Smooking |
|
kawah merapi |
Note :
1.
Di
Pagar alam biasanya pendaki carter hingga sampai di kampung 4 dan memulai
pendakian dari kampung 4 setelah laporan di Pak RT.
2.
Menurut
saya, bila anda dari jauh, alangkah baiknya mencoba jalur kampung 4 dan turun
jalur Rimau untuk merasakan track yang berbeda
3.
Gunakan
sepatu gunung, karena track yang becek dan lembab