Jumat, 08 Februari 2013

Merapi di Sela Siluet Rembulan dan Tatapan Sang Kawan


Merapi di Sela Siluet Rembulan dan Tatapan Sang Kawan

Merapi, kokoh menjulang tinggi terlihat oleh kedua mata ku dari persimpangan kota jogja. Ya… siapa yang tak tau merapi,  sebuah gunung yang mempunyai legenda dan sesosok gunung yang angkuh, seakan tak lepas dari gejolak hasratnya. Gunung yang sampai sekarang masih aktif, bahkan bisa dikatakan masuk dalam kategori gunung teraktif di Dunia memang banyak di gemari penggiat alam bebas, pendaki, maupun pecinta alam. Melestarikan, Didaki, dinikmati, menaklukan puncaknnya sampai bahkan menjadikannya tumpukan sampah di setiap langkah itu semua. Memang tak ada larangan bagi siapapun untuk mencapai gunung merapi, namun terkadang hal yang mereka anggap sepele seperti sampah adalah kekejaman yang fatal terhadap alam. Mungkin memang mereka khilaf atau memang pura-pura bodoh di mata alam. Oke, tak perlu panjang lebar membahas itu semua, yang bakalan membuat saya muak oleh tingkah laku seperti itu. Biarkan keseimbangan yang mereka buat akan berimbas buat mereka yang berbuat, dan Hjaulah engkau yang membuat hijau dan di hijaukan olehnya.
Gunung merapi dengan ketinggian sekitar 2900  mdpl pasca erupsi kemain merupakan gunung yang mempunyai nilai mistis, budaya dan tingkat spiritual yang cukup tinggi. Banyak mitos-mitos yang pernah saya dengar tentang gunung ini. Untuk mencapai ke base camp pendakian merapi, membutuhkan waktu 2 jam dari kota Yogyakarta. Base Camp Selo Merapi, titik awal kita melangkahkan kaki untuk menuju puncak tertinggi merapi. Track aspal sekitar 500m dari basecamp kita akan tiba di New Selo. Sebuah tempat seperti gardu pandang yang luas, disini kita bisa melihat Gunung Merbabu tepat di depan mata kita. Dengan latar perkebunan warga. Setiap sore dan hari Minggu New Selo ramai dikunjungi para wisatawan lokal maupun warga daerah sekitar, terutama anak muda.  Kali ini saya akan sedikit menceritkan perjalanan saya ke Merapi bersama Juniardi. Karena disamping saya ingin mengulas sedikit pengetahuan saya tentang Gunung ini saya mencampurnya atau bisa dikatakan Mix dengan perjalanan saya malam itu.
Pukul 12.30 WIB kita mencoba naik berdua, dengan tujuan menyusul teman yang memang sudah berangkat duluan ke atas. Sebenarnya kita ber3, namun karena kondisi salah satu teman kita (ian) hamstring di kaki kiri setelah tanjakan aspal dan tidak juga bisa di paksakan, akhirnya dia turun ke base camp dan bermalam di sana. Tak lupa saat itu setelah sampai di New Selo sebungkus madu sachet dan coklat kita keluarkan. Dengan tujuan menambah sedikit stamina dan kalori dalam tubuh, Juniardipun begitu bersemangat, sangat bersemangat dan berbeda dari biasanya.
Setelah habis kita beristirhat di New Selo, madu, Coklat dan sebatang rokok telah habis, kita lanjutkan perjalanan untuk naik ke atas. Jalur track awal setelah New Selo adalah perkebunan dan Ladang sayur milik warga setempat. Jalan yang cukup lebar, tanah coklat dan sedikit batuan krikil memaksakan kita untuk berjalan santai agar tak terlalu memfosir stamina di langkah awal. Sekitar 20 menit berjalan kucuran keringat Jun mulai berjatuhan dan dentuman Nafasku yang juga sudah bisa terdengar dengan radius 10meter. Heheh . . . ya begitulah maklum ABG tua.
Masih di area perkebunan kita tetap berjalan bersama dengan cahaya bulan yang kebetulan bulan purnama. Jadi kita berjalan tak perlu memakai headlamp saat itu, Tuhan memang banyak memberikan keindahan sempurna malam ini. Ya begitulah bagai pasangan pasutri kita berjalan berdua melewati rumput dan ilalang, dan sejenak berhenti untuk memandang indahnya bulan di pelupuk mata, cengkraman erat tangan kita disaat bergandeng tangan menjadi saksi yang begitu menjijikan malam itu. Kita melihat bulan dengan sesekali berpelukan, sandaran bahunya pun menempel di antara lampu-lampu kota yang malam itu terlihat begitu cemerlang. Tapi inilah persahabatan melebihi batas dari segalanya, melebihi batas nurani kita malam itu. Kita seakan buta, tapi hati dan mata yang berbicara. Kita memang sudah lama berteman, dari akal bulusnya dia dan sifat baikku tak ada yang bisa menutupinya lagi. Ya begitulah sahabat, diatas norma sayang dan di bawah jauh garis cinta. Tapi jangan salah tafsir dulu, Kita bukan Mahopala (Mahasiswa Homo Pecinta Alam). Inget ya bukan MAHOPALA.
Setelah sekitar 30 menit berjalan terdengar keluhan juniardi tentang tidak rasa nyamannya oleh perut yang ia bawa. Mual, dan ingin muntah tiba-tiba mengetuk lambungnya secara perlahan namun pasti. Pucat dan keringatnya hanya bisa ku tonton dengan riang. Ya terkadang ketika kulihat dia susah adalah bahan manis cenda tawa kita. Tapi sepertinya bukan saatnya saya untuk menertawakan dia malam ini. Minyak angin gosok kukeluarkan dalam daypack untuk menggosok leher dan perut dia yang saat itu tersiksa. Hingga terkadang kita tetap memaksakan untuk melangkah pelan. Alhasil tidak sampai 1 jam berjalan, yaitu batas hutan yang menjadi penopang kesengsaraan dia di Gunung Merapi tuntas sudah. Mual yang dirasakan pecah oleh luapan muntah yang dia keluarkan. Ya batas Hutan, seolah sedikit tercemar dengan luapan perut yang tak tertahannkan.
Batas hutan adalah batas antara perkebunan warga dengan hutan, sekitar 1 jam dari New Selo. Hutan disini tidak lebat seperti hutan-hutan di pegunungan lainnya seperti merbabu, sumbing dan sindoro. Dan mulai dari sini juga, akhirnya tas juniardi mulai berpaling dari pangkuannya untuk merambah ke depan dadaku. Tak selang lama kita berhenti disini, kita pun mulai menapaki jalan demi jalan untuk mencapai watu gajah. Sekarang juniardi yang menduduki garda depan pendakian, setelah tas berpaling ke pangkuanku laju juniardi tak terkejar bak bis sumber kencono ( bis Jogja-Surabaya) yang laju kencangnya yang aduhai. Jarak kita sekitar 10 meter, lambaian tangannya di bawah rembulan serasa di  buatnnya redupp dengan nya.
 ‘’Tunggu Jun, pelan-pelan, mentang-mentang cm bawa nyawa” celoteh ku di malam itu kepadannya. Iya mbal” hehehe ujar nya. Setelah kejadian yang mencengkram tadi muka segar juniardi tak kunjung malu untuk menampakkannya. Ceria, Segar, Bugar dan menggebu. Kita lewati pohon demi pohon, tanjakan dmi tanjakan hingga tiba saatnya kita mencapai track bebatuan. 1jam kita melintasi track Hutan, sekarang tiba saatnya untuk berpegangan tangan di bebatuan untuk tetap naik. Kali ini kita harus berjuang keras, karena track batu ini agak sedikit terjal dan menukik tajam.
Memang sebelum mencapai Watu Gajah medan bebatuan harus kita lewati, pada musim badai biasanya disini angin kencang mulai berhembus. Karena tak ada pohon yang tinggi untuk memecah angin di track ini, hanya pohon kecil dan cantigi yang mendominasi. Sama seperti trac hutan sebelumnnya, track batu di tempuh sekitar 1 jam dari hutan. Dan terdengan cengkrama hiruk pikuk orang bersautan di sebelah kiri telinga kita. “KiiiK….. “ sahut ku, dan “kiiiik….” Terdengar balasan. Dan ternyata itu tenda teman yang akan kita susul, Oi,Devi, Fajar, Agam suda merikuk di dalam tenda.
Pukul 03.00 wib kita tiba di watu gajah, sebuah tempat dengan 3 gundukan luas dan 2 goa disini. Ini salah satu tempat favorit kita untuk camp dan mendirikan tenda maupun beristirahat sebelum meakukan summit attack. Tak lama larut dalam obrolan pagi itu, secangkir kopi tak lupa menemani dengan senyum rembulan waktu malam itu. Menunggu sunrise tiba, karena sebelah timur hamaran langit luas terbentang dengan gunung lawu yang megah masih tetap pada singgasanannya. Sekitar pukul 05.00 WIB langit kemerahan menepi ke ara kita. Dan juluran awan putih bersahutan di kiri kanan mataku. Inilah yang di tunggu-tunggu, Sunrise yang pemalu itu akhirna muncul dengan perlahan. Sese photo pun dimulai seperti biasa, tak lupa jari telunjuk sebagai peran penting dalam moment ini. Diala yang menemaniku di setiap moment indahku.
Habis gelap terbitlah terang, sekitar pukul 17.00wib misi kita di mulai kembali ntuk menapaki puncak merapi. Dan ternyata Juniardi juga membawa misi rahasia, sebuah surprise untuk kekasihnya tercinta ketika di puncak merapi nanti. Tenda tetap pada tempatnya, hanya langkah kaki dan raga sejenak berpindah untuk melanjutkan semua ini. Setelah watu Gajag track Batu batu dan batu ang bakalan kita hadapi. Dan pasar bubrah adalah sebuah tempat dimana tempat terakir sebelum kita menuju puncak merapi. Jalur dari Watu gajah ke pasar bubrah sekitar 30-40 menit, tergantung yang naik porter,  pendaki, pribumi atau abg tua. Ya tergantung kapasitas dan pencapaian saja, toh ini juga bukan balap gunung siapa yang cepat dialah pemenangnya. Terkadang konyol juga, gunung kok di balap. Kenapa g tarik Gunung sekalian.
Akhirnya kita sampai di Pasar Bubrah, sebuah hamparan luas bebatuan besar, dimana kita bisa melihat puncak merapi dengan jelas megahnya. Konon dari cerita dan cerita, pasha bubrah adalah pasarnya makluk halus, yang dimana semua makluk halus dari yang mud, remaja, sampai dewasa semua berkumpul disini pada waktu hari tanggal dan bulan yang di tentukan. Katenye.. boleh percaya boleh tidak yang penting tidak mengintimidasi saja. Jalur dari pasar bubrah menuju Puncak Merapi terlihat jelas pagi itu, tak tertutup kabut sama sekali. Dari sini menuju puncak sekitar 1 jam.
Medan yang di suguhkan disini pasir dan batu, dari track pasir nantinya akan terlihat 2 jalur, satu lurus dan satunya lagi kekiri dengan pertimbangan curam dan pasir. Jadi susah untuk naik lewat sebelah kanan. Jadi saya anjurkan naik yang lurus dan sebelah kanan yang curam ketika turun dari puncak. Setelah track pasir sekitar 100 meter kita akan dihadapkan langsung oleh tebing batu yang menjulang tingi dengan perkasa. Inilah tebing terakhir sekitar 200 meter menuju puncak merapi. Medan disini memaksakan kita untuk tetap focus pada pijakan kai dan cengkraman yang kuat di bebatuan. Pelan  tapi pasti, dengan sedikit merambat ke atas. Batuan di sini memang ada yang agak lapuk, jadi kita harus berhati-hati untuk memilih batu mana yang kuat dan batu mana yang tidak layak untuk pijakan kaki. Track yang curam sekitar 80 derajat mau tak mau harus kita lewati untuk menggapai puncak. Dari sini juga sudah mulai menyengat bau belerang dari kawah merapi.
Saat itu banyak juga terlihat pendaki-pendaki lain yang berjuang keras untuk naik ke atas. Memang butuh pengorbanan dan semangat yang extra untuk naik. Hingga tiba kita di bibir kawah merapi yang berbatasan langsung dengan kawah disertai asap belerang yang mengepul. Terlihat juniardi masih di belakang sedikit menuju puncak, dan disaat itu juga dia hamper tak bisa melangkah. Tak sanggup naik, dan ngeri juga melihat bawah yang curam. Dia hanya terpaku melihat keadaannya yang sungguh ironis bila di tertawakan seperti yang kulakukan. Tapi akhirnya berkat bantuan tongkt salah satu teman kami, dia pun berhasil di evakuasi dari zobna mengerikannya. “Puncak…..” Jabat erat, peluk kesah pun terbalas ketika kedua kaki ini berhasil menginjakkannya.
Tak lama selang waktu kita di atas, Nathional Anthem mulai kita nyanyikna bersama, salah satu misi spiritual kita bersama ketika entah berada di puncak gunung manapun. Bangga akan Indonesia, bangga akan jerihpayah, dan Salah satu wujud syukur kita atas Rahmat dan Karunia-Nya yang di berikan selama perjalanan kita. Memang terlihat sedikit lucu dihadapan para pendaki lain mungkin, tapi lantang senyum mereka selantang suara kita juga akan meneriakkan Indonesia Raya di Puncak Merapi. Juniardi yang saat itu ingat juga akan surprise ultah kekasihnya, ia ucapkan dan kata demi kata ia rangkai di atas banner puti yang sudah ia persiapkan. Alhasil tak sampai 10 menit, tulisan Happy Birthday Shanderyna pun terangkai. Dan kembali raut puas, senang, bahagia junardi kembali datang setelah semalam yang ia hadapi terbalas sudah dengan pencapaiannya. 


Thanks Kopi Liar, dimana komunitas ini yang sampai sekarang membibingku untuk menuju keabadian sejati mencintai alam dan memperlakukan seisinya dengan rasa tanggung jawab yang lebih.
 Oleh alvian fendy triastanto

Salam Lestari

Sunrise dari Watu Gajah
Gambar yang terekam Kamera
Pasar Bubrah

Secangkir Kopi Di ujung Puncak Merapi

Track  menuju puncak merapi

Sunset dari Watu Gajah


Puncak