Merapi di Sela Siluet Rembulan dan Tatapan Sang
Kawan
Merapi, kokoh menjulang tinggi terlihat oleh kedua mata ku dari persimpangan
kota jogja. Ya… siapa yang tak tau merapi,
sebuah gunung yang mempunyai legenda dan sesosok gunung yang angkuh, seakan
tak lepas dari gejolak hasratnya. Gunung yang sampai sekarang masih aktif,
bahkan bisa dikatakan masuk dalam kategori gunung teraktif di Dunia memang
banyak di gemari penggiat alam bebas, pendaki, maupun pecinta alam. Melestarikan,
Didaki, dinikmati, menaklukan puncaknnya sampai bahkan menjadikannya tumpukan
sampah di setiap langkah itu semua. Memang tak ada larangan bagi siapapun untuk
mencapai gunung merapi, namun terkadang hal yang mereka anggap sepele seperti
sampah adalah kekejaman yang fatal terhadap alam. Mungkin memang mereka khilaf
atau memang pura-pura bodoh di mata alam. Oke, tak perlu panjang lebar membahas
itu semua, yang bakalan membuat saya muak oleh tingkah laku seperti itu.
Biarkan keseimbangan yang mereka buat akan berimbas buat mereka yang berbuat,
dan Hjaulah engkau yang membuat hijau dan di hijaukan olehnya.
Gunung merapi dengan ketinggian sekitar 2900 mdpl pasca erupsi kemain merupakan gunung
yang mempunyai nilai mistis, budaya dan tingkat spiritual yang cukup tinggi.
Banyak mitos-mitos yang pernah saya dengar tentang gunung ini. Untuk mencapai
ke base camp pendakian merapi, membutuhkan waktu 2 jam dari kota Yogyakarta.
Base Camp Selo Merapi, titik awal kita melangkahkan kaki untuk menuju puncak
tertinggi merapi. Track aspal sekitar 500m dari basecamp kita akan tiba di New
Selo. Sebuah tempat seperti gardu pandang yang luas, disini kita bisa melihat
Gunung Merbabu tepat di depan mata kita. Dengan latar perkebunan warga. Setiap
sore dan hari Minggu New Selo ramai dikunjungi para wisatawan lokal maupun
warga daerah sekitar, terutama anak muda.
Kali ini saya akan sedikit menceritkan perjalanan saya ke Merapi bersama
Juniardi. Karena disamping saya ingin mengulas sedikit pengetahuan saya tentang
Gunung ini saya mencampurnya atau bisa dikatakan Mix dengan perjalanan saya
malam itu.
Pukul 12.30 WIB kita mencoba naik berdua, dengan tujuan menyusul teman yang memang
sudah berangkat duluan ke atas. Sebenarnya kita ber3, namun karena kondisi
salah satu teman kita (ian) hamstring di kaki kiri setelah tanjakan aspal dan
tidak juga bisa di paksakan, akhirnya dia turun ke base camp dan bermalam di
sana. Tak lupa saat itu setelah sampai di New Selo sebungkus madu sachet dan
coklat kita keluarkan. Dengan tujuan menambah sedikit stamina dan kalori dalam
tubuh, Juniardipun begitu bersemangat, sangat bersemangat dan berbeda dari
biasanya.
Setelah habis kita beristirhat di
New Selo, madu, Coklat dan sebatang rokok telah habis, kita lanjutkan
perjalanan untuk naik ke atas. Jalur track awal setelah New Selo adalah
perkebunan dan Ladang sayur milik warga setempat. Jalan yang cukup lebar, tanah
coklat dan sedikit batuan krikil memaksakan kita untuk berjalan santai agar tak
terlalu memfosir stamina di langkah awal. Sekitar 20 menit berjalan kucuran
keringat Jun mulai berjatuhan dan dentuman Nafasku yang juga sudah bisa
terdengar dengan radius 10meter. Heheh . . . ya begitulah maklum ABG tua.
Masih di area perkebunan
kita tetap berjalan bersama dengan cahaya bulan yang kebetulan bulan purnama.
Jadi kita berjalan tak perlu memakai headlamp saat itu, Tuhan memang banyak
memberikan keindahan sempurna malam ini. Ya begitulah bagai pasangan pasutri
kita berjalan berdua melewati rumput dan ilalang, dan sejenak berhenti untuk memandang
indahnya bulan di pelupuk mata, cengkraman erat tangan kita disaat bergandeng
tangan menjadi saksi yang begitu menjijikan malam itu. Kita melihat bulan
dengan sesekali berpelukan, sandaran bahunya pun menempel di antara lampu-lampu
kota yang malam itu terlihat begitu cemerlang. Tapi inilah persahabatan
melebihi batas dari segalanya, melebihi batas nurani kita malam itu. Kita
seakan buta, tapi hati dan mata yang berbicara. Kita memang sudah lama
berteman, dari akal bulusnya dia dan sifat baikku tak ada yang bisa menutupinya
lagi. Ya begitulah sahabat, diatas norma sayang dan di bawah jauh garis cinta.
Tapi jangan salah tafsir dulu, Kita bukan Mahopala (Mahasiswa Homo Pecinta
Alam). Inget ya bukan MAHOPALA.
Setelah sekitar 30 menit berjalan terdengar keluhan juniardi tentang tidak rasa nyamannya oleh
perut yang ia bawa. Mual, dan ingin muntah tiba-tiba mengetuk lambungnya secara
perlahan namun pasti. Pucat dan keringatnya hanya bisa ku tonton dengan riang.
Ya terkadang ketika kulihat dia susah adalah bahan manis cenda tawa kita. Tapi
sepertinya bukan saatnya saya untuk menertawakan dia malam ini. Minyak angin
gosok kukeluarkan dalam daypack untuk menggosok leher dan perut dia yang saat
itu tersiksa. Hingga terkadang kita tetap memaksakan untuk melangkah pelan.
Alhasil tidak sampai 1 jam berjalan, yaitu batas hutan yang menjadi penopang
kesengsaraan dia di Gunung Merapi tuntas sudah. Mual yang dirasakan pecah oleh
luapan muntah yang dia keluarkan. Ya batas Hutan, seolah sedikit tercemar
dengan luapan perut yang tak tertahannkan.
Batas hutan adalah batas antara perkebunan warga dengan hutan, sekitar 1 jam dari
New Selo. Hutan disini tidak lebat seperti hutan-hutan di pegunungan lainnya
seperti merbabu, sumbing dan sindoro. Dan mulai dari sini juga, akhirnya tas
juniardi mulai berpaling dari pangkuannya untuk merambah ke depan dadaku. Tak
selang lama kita berhenti disini, kita pun mulai menapaki jalan demi jalan
untuk mencapai watu gajah. Sekarang juniardi yang menduduki garda depan
pendakian, setelah tas berpaling ke pangkuanku laju juniardi tak terkejar bak
bis sumber kencono ( bis Jogja-Surabaya) yang laju kencangnya yang aduhai.
Jarak kita sekitar 10 meter, lambaian tangannya di bawah rembulan serasa
di buatnnya redupp dengan nya.
‘’Tunggu Jun, pelan-pelan, mentang-mentang cm bawa
nyawa” celoteh ku di malam itu kepadannya. Iya mbal”
hehehe ujar nya. Setelah kejadian yang mencengkram tadi muka segar juniardi tak
kunjung malu untuk menampakkannya. Ceria, Segar, Bugar dan menggebu. Kita
lewati pohon demi pohon, tanjakan dmi tanjakan hingga tiba saatnya kita
mencapai track bebatuan. 1jam kita melintasi track Hutan, sekarang tiba saatnya
untuk berpegangan tangan di bebatuan untuk tetap naik. Kali ini kita harus
berjuang keras, karena track batu ini agak sedikit terjal dan menukik tajam.
Memang sebelum mencapai Watu
Gajah medan bebatuan harus kita lewati, pada musim badai biasanya disini
angin kencang mulai berhembus. Karena tak ada pohon yang tinggi untuk memecah
angin di track ini, hanya pohon kecil dan cantigi yang mendominasi. Sama
seperti trac hutan sebelumnnya, track batu di tempuh sekitar 1 jam dari hutan.
Dan terdengan cengkrama hiruk pikuk orang bersautan di sebelah kiri telinga
kita. “KiiiK….. “ sahut ku, dan “kiiiik….” Terdengar balasan. Dan ternyata itu
tenda teman yang akan kita susul, Oi,Devi, Fajar, Agam suda merikuk di dalam
tenda.
Pukul 03.00 wib kita tiba di watu gajah, sebuah tempat dengan 3 gundukan luas dan
2 goa disini. Ini salah satu tempat favorit kita untuk camp dan mendirikan
tenda maupun beristirahat sebelum meakukan summit attack. Tak lama larut dalam
obrolan pagi itu, secangkir kopi tak lupa menemani dengan senyum rembulan waktu
malam itu. Menunggu sunrise tiba, karena sebelah timur hamaran langit luas
terbentang dengan gunung lawu yang megah masih tetap pada singgasanannya. Sekitar
pukul 05.00 WIB langit kemerahan menepi ke ara kita. Dan juluran awan putih
bersahutan di kiri kanan mataku. Inilah yang di tunggu-tunggu, Sunrise yang
pemalu itu akhirna muncul dengan perlahan. Sese photo pun dimulai seperti
biasa, tak lupa jari telunjuk sebagai peran penting dalam moment ini. Diala
yang menemaniku di setiap moment indahku.
Habis gelap terbitlah terang, sekitar pukul 17.00wib misi kita di mulai kembali ntuk menapaki
puncak merapi. Dan ternyata Juniardi juga membawa misi rahasia, sebuah surprise
untuk kekasihnya tercinta ketika di puncak merapi nanti. Tenda tetap pada
tempatnya, hanya langkah kaki dan raga sejenak berpindah untuk melanjutkan
semua ini. Setelah watu Gajag track Batu batu dan batu ang bakalan kita hadapi.
Dan pasar bubrah adalah sebuah tempat dimana tempat terakir sebelum kita menuju
puncak merapi. Jalur dari Watu gajah ke pasar bubrah sekitar 30-40 menit,
tergantung yang naik porter, pendaki,
pribumi atau abg tua. Ya tergantung kapasitas dan pencapaian saja, toh ini juga
bukan balap gunung siapa yang cepat dialah pemenangnya. Terkadang konyol juga,
gunung kok di balap. Kenapa g tarik Gunung sekalian.
Akhirnya kita sampai di Pasar
Bubrah, sebuah hamparan luas bebatuan besar, dimana kita bisa melihat
puncak merapi dengan jelas megahnya. Konon dari cerita dan cerita, pasha bubrah
adalah pasarnya makluk halus, yang dimana semua makluk halus dari yang mud,
remaja, sampai dewasa semua berkumpul disini pada waktu hari tanggal dan bulan
yang di tentukan. Katenye.. boleh percaya boleh tidak yang penting tidak
mengintimidasi saja. Jalur dari pasar bubrah menuju Puncak Merapi terlihat
jelas pagi itu, tak tertutup kabut sama sekali. Dari sini menuju puncak sekitar
1 jam.
Medan yang di suguhkan disini pasir dan batu, dari track pasir nantinya
akan terlihat 2 jalur, satu lurus dan satunya lagi kekiri dengan pertimbangan
curam dan pasir. Jadi susah untuk naik lewat sebelah kanan. Jadi saya anjurkan
naik yang lurus dan sebelah kanan yang curam ketika turun dari puncak. Setelah
track pasir sekitar 100 meter kita akan dihadapkan langsung oleh tebing batu
yang menjulang tingi dengan perkasa. Inilah tebing terakhir sekitar 200 meter
menuju puncak merapi. Medan disini memaksakan kita untuk tetap focus pada
pijakan kai dan cengkraman yang kuat di bebatuan. Pelan tapi pasti, dengan sedikit merambat ke atas.
Batuan di sini memang ada yang agak lapuk, jadi kita harus berhati-hati untuk
memilih batu mana yang kuat dan batu mana yang tidak layak untuk pijakan kaki.
Track yang curam sekitar 80 derajat mau tak mau harus kita lewati untuk
menggapai puncak. Dari sini juga sudah mulai menyengat bau belerang dari kawah
merapi.
Saat itu banyak juga terlihat pendaki-pendaki lain yang berjuang keras
untuk naik ke atas. Memang butuh pengorbanan dan semangat yang extra untuk
naik. Hingga tiba kita di bibir kawah merapi yang berbatasan langsung dengan
kawah disertai asap belerang yang mengepul. Terlihat juniardi masih di belakang
sedikit menuju puncak, dan disaat itu juga dia hamper tak bisa melangkah. Tak
sanggup naik, dan ngeri juga melihat bawah yang curam. Dia hanya terpaku
melihat keadaannya yang sungguh ironis bila di tertawakan seperti yang
kulakukan. Tapi akhirnya berkat bantuan tongkt salah satu teman kami, dia pun
berhasil di evakuasi dari zobna mengerikannya. “Puncak…..” Jabat erat, peluk kesah pun terbalas ketika kedua kaki
ini berhasil menginjakkannya.
Tak lama selang waktu kita di atas, Nathional Anthem mulai kita nyanyikna bersama, salah satu misi
spiritual kita bersama ketika entah berada di puncak gunung manapun. Bangga
akan Indonesia, bangga akan jerihpayah, dan Salah satu wujud syukur kita atas
Rahmat dan Karunia-Nya yang di berikan selama perjalanan kita. Memang terlihat
sedikit lucu dihadapan para pendaki lain mungkin, tapi lantang senyum mereka
selantang suara kita juga akan meneriakkan Indonesia Raya di Puncak Merapi.
Juniardi yang saat itu ingat juga akan surprise ultah kekasihnya, ia ucapkan
dan kata demi kata ia rangkai di atas banner puti yang sudah ia persiapkan.
Alhasil tak sampai 10 menit, tulisan Happy Birthday Shanderyna pun terangkai.
Dan kembali raut puas, senang, bahagia junardi kembali datang setelah semalam
yang ia hadapi terbalas sudah dengan pencapaiannya.
Thanks Kopi Liar, dimana
komunitas ini yang sampai sekarang membibingku untuk menuju keabadian sejati
mencintai alam dan memperlakukan seisinya dengan rasa tanggung jawab yang
lebih.
Oleh alvian fendy triastanto
Salam Lestari
Pasar Bubrah |
Secangkir Kopi Di ujung Puncak Merapi |
Track menuju puncak merapi |
Sunset dari Watu Gajah |
Puncak |