Gunung rinjani, adalah jutaan impian bagi para pendaki. Yah gunung yang menawarkan berjuta panoramanya mampu membius perhatian dari segala penjuru negeri. Perjalanan kopi liar kini menapaki surge kecil di Nusa Tenggara Barat. Berawal dari runtutan perjalanana yang sudah-sudah, kali ini kita menyiapkan segala sesuatunya secara sangat matang. Dari segala hal terkecil hingga pembagian Jobdesk pada masing2 tim sudah tertata rapi di awal perbincangan. Berangkat dari St. Lempuyangan Yogyakarta, kita yang berjumlah 20 orang memberanikan diri untuk menengok kagum yang selam ini hanya tersirat oleh telinga. Rinjani masih pada kemegahan yang elok, bersila suci di atas savanna yang membentang.
Kereta Sri Tanjung mengawali jejak tapak langkah kita, Rp. 35.000 dulu tariff yang ditawarkan oleh KAI di setiap orangnya tak murung kita untuk membelinya. Harga yang sangat mura untuk perjalanan panjang di dalam gerbong besi yang tak bertingkat ini. Pukul 07.30 wib tepat, kami perlahan meninggalkan jogja, dengan kecil senyum melihat kota kita yang masih tetap nyaman dihuni sekitar lebih dari 40.000 Mahasiswa ini.
Detik masih perlahan menuju waktu terik matahari yang mulai memanas. Siang itu menghamipiri kita sebuah kota Metropolitan yang berselimut gedung. Yah, Surabaya tepatnya, sekitar pukul 14.00 wib kita dalam separuh perjalanan yang mencekam. Lapar menghampiri pada pergantian siang-sore, juga tentang laju kereta yang tetap berputar pada porosnya.
Selamat tinggal sejenak Surabaya, kita sejenak menuai rindu oleh gerlap malam mu yang kau tawarkan dulu. Menuju Banyuwangi kini, gerbong demi gerbong perlahan melesat. Menebas sawah juga perumahan padat di tepi rel kereta, sesekali teat kereta melaju pesat, terhempas lari sehelai baju oleh terpa kencang laju ini.
Kini malam masih bersahabat pada kita di pergantiannya, rona kuning oleh kokohnya mahameru saat itu raihku takjub dengan biasnya. Yah, dari samping gerbong jendela sudut ini, Nampak persemayamaan para dewa itu, Mahameru. Kabar baik kulontarkan setiap malammku, untuk mengais lelah menuju ranukumbolo mu yang lugu.
Lapar kedua kini memanggil temannya, seolah mengajak menyantap nasi dengan lauk kering tempe yang kita bawa.Sekitar pukul 20.00 wib akhirnya bungkusan itu kita buka kembali, dengan niat sepenuh hati untuk mengenyagkan perut pada malam yang panjang ini. Masih sekitar 3jam perjalanan lagi, kita masih dipaksa bertempur dengan besi tua milik KAI. Dan menunggu yang nantinya siapa bakal memenangkannya. Tawa kita masih utuh, walau sesekali angin luar masuke dalam celah gerbong malam itu.
Hingga pada saat terdengar kalau ending of train ini berakhir pada pukul 23.00 WIT. Saatnya berkemas, karena kita harus menuju pelabuhan untuk selanjutnya naik kapal fery menuju Bali. Yap, pulau Dewata, sebuah surge elok juga yang Indonesia miliki. Beragam keindahan dan tradisi nya mengentalkan bahwa hanya kita dan negeri ini yang memilikinya. Dan tak lama juga tak begitu jauh dari stasiun kita menuju penyebrangan untuk membeli tiket fery yang saat itu hargannya Rp. 6000. Jangan lupa bawa KTP ya, karena setelah kasus Bom bali, siapapun wrga Indonesia sengaja diperiksa KTP/Identitasnya agar menjaga Bali dari aksi-aksi teroriseme yang tidak di inginkan Pulau Dewata ini.
Serambi menunggu teman yang sebagian masih berjalan, terlihat lampu mungil di sudut mala mini menjadikan perjalanan ini semakin bercahaya. Semangat kita mengebu, se lantang ombak yang di pantai membelah terpecah pematang penat rutinitas kita. Dan kini kita akan mengarungi lautan, menyingkir sejenak dari pulau Jawa.
Menjajal malam dengan gelombang, di atas deck terlepas tawa yang bingar. Hingga kita menginjakkan Di pulau bali. Dan masih bertarung menuju pagi, langkah kita masih panjang. Menggunakan mini bus jurusan pelabuhan penyebrangan Bali-Lombok, kita menjemput fajar lewat dinding kaca jendela. Dengan tarif Rp. 30.000 akhirnya perlahan kita melibas malam menuju dermaga selanjutnya. Terlelap kita melewati setiap tikungan tajam yang sepenuhnya di kuasai oleh sopir bis malam itu.
Dan tiba kita di pelabuhan penyebrangan Bali-Lombok. Mendekati mimpi serasa dan juga yang kita rasakan saat itu. Nampak Gn Agung merobek ego karena ketakjuban yang dia sampaikan. Rp. 38.000 tarif ferry yang harus dibayar untuk per orangnya di perjalanan 5jam di tengah Samudra. Waktu yang lumayan lama, namun kembali di atas deck gurau itu mengalahkan detik hingga menit yang berjalan. Terlihat wisatawan asing menggendong tas Cariernya, bersiap untuk memeperkosa Indonesiaku oleh keindahannya.
Lanjut perjalanan, satu per satu Truck bis dan kendaraan pribadi melewati kita dalam barisan kepadatan kapal ini. Disana terlihat banyak calo angkutan yang menawarkan untuk menaiki kendaraan mereka dan kita akhrnya memilih untuk menuju pasar Aikmel terlebih dahulu, untuk memberi logistic basah yang memang sengaja kita beli di sini karena melihat perjalanan yang begitu lama. Untuk menjaga kemungkina makanan nantinya akan busuk di jalan.
Untuk ongkos kita menyarter mobil yang langsung menuju plawangan sembalun, Rp.400.000 untuk 20 orang. Jadi disamping menghemat waktu karena besok pagi kita harus siap melangkah di batuan terjal Gn. Rinjani. Sekitar pukul 21.00 WIT, akhirnya kit atiba di gerbang plawangan sembalun. Malam itu rona binang menawarkan keindahan dengan suci rembulan oleh pancarnya. Dingin lembut mulai memasuiki ketika terpampang tebing yang menjulang joga oleh rimba gelap yang sunyi.
Setelah tiba, tak lama sebagian dari bagian kita memasak sarapan malam di penghujung malam. Serambi bercengkrama lepas di bawah kecerahan mala mini. Sebenarnya di Basecamp sembalun juga terdapat homestay yang TNGR (Taman Nasional Gunung Rinjani) tawarkan. Ya apa boleh buat, terkadang kehangatan dinding tak sehangat genggam erat kita menapaki gigil. Dan kita memutuskan melewati malam di sebuah halaman luas di depan BaseCamp.
Hingga kokok ayam menggugah kita oleh kelelahan. Selamat pagi surya, kali ini kerangkul pagi mu dengan seberkas cahaya dan secangkir kopi. Tak lama laju biscuit silih berganti mengadu, seolah tak ingin terbuka namun akhrnya kita buka dengan niat menemani Rokok filter yang mulai menyala. Rencana untuk memasuki track sekitar pukul 07.00 dan sekarang masih jam 06.00 WIT, kita masih sedikit mempunyai waktu untuk menikmati sorot fajar dari celah dinding pagi itu.
Dan pada sebuah pagi yang dingin, kita memberanikan diri untuk membasuh permukaan kulit dengan air di belakang dinding. Serambi sebagian dari kita regristasi dan mengurus perijinan yang diwajibkan membayar Rp.10.000 per orangnya. Sekitar pukul 08.30 WIT, selagi semua tertunduk pada doa yang di panjatkan. Kiat kita untu mendaki gunung ini adalah karena kuasa-Mu Tuhanku, dengan segala kecil sujud pada besar belantara-Mu. Hasrat ini terpancar pada rona kekerdilanku yang busung
Bismillahirahman’nirahim, perlahan langkah mendekati Rinjani-Nya yang angkuh. Siang rona Matahari juga siul burung menemani dalam perjalanan kita. Terpampang luasan luas yang Indonesia tawarkan di hadapan kita. Ini memang benar surge pendaki yang Rinjani twarkan di setiap kemolekannya. Hingga kucuran keringat menenggelamkanku oleh riuh sepoi angin siang itu. Sekitar 2ja perjalanan kita tiba di pos 1, sebuah pos yang mungil di hamparan luas savannanya.
Sesekali kita berpapasan oleh porter pribumi yang membawa beban dengan sebilah bamboo yang di ikat di 2 keranjang besar. Beban yang di bawa sekitar 50-60 kg, tentu bukan beban yang ringan. Panas juga indahnya savanna mendominasi jalur pendakian sembalun ini. Tak lama beristirahat lanjut menanjak melewati savanna yang tak kunjung habis indahnya.
Sekitar 1 jam berjalan kita tiba di pos 2, pos yang tidak begitu jauh dari pos 1. Waktu menunjukan pukul 12.00 WIT, panggilan perut sudah menari kita dalam ritual laparnya. Memutuskan segera untuk makan siang, dan shalat dzuhur di pertengahan terik di bawah naungan rindang pohon di sebrang jembatan yang menghubungkan antara tebing curam. Lauk kali ini sop dengan ikan asin yang tak lupa sambal pedas menepi di piring yang dipaparkan. Makan-Minum-merokok-Ngopi seolah menjadi siklus permanen di setiap harinya.
Jam menunjukkan pukul 13.30 WIT dan kita harus melanjutkan perjalanan sebelum petang tiba. Dan perjalanan masih tetap agak sedikit landau namun tanjakan tak luput menguras sisa keringat kita. Tiba di pos 3, pos akhir dari segala kelandaian track sepertinya. Karena didepan terpampang jelas bukit penyesalan dengan 9 bukit yang menanjak. Yah siapa yang tak kenal bukit ini, bagai symbol tanjakan rinjani yang memang jalur menuju Plawangan terlebih dahulu kita harus merangkul mesra bukit ini denga peluh kesah keringat dan gemetarnya kaki.
Sekitar jam 15.30 kita perlahan melangkah melewati satu per satu bukit penyesalan ini. Walau sedikit sisa tenaga yang tertampung, langkah kecil ini tetap menapaki setiap terjal tanjakan panjang. Seperti tak habis langkah bukit ini tak kunjung habis, hingga adzan magrib dating, masih saja kita berjuang melangkah demi menuju pelawangan sembalun. Pergantian senja ini kita sejenak beristirahat, oleh dingin kabut malam itu. Jarak mulai sedikit jauh, yang terlihat hanya sorot lampu dari bawah menuju ketinggian.
Dan oleh segala ucap dan rintihan doa yang menemani pijakan kaki ini, akhrnya Tim Kopi liar semua tiba di Plawangan Sembalun pukul 20.00 WIT, tak lama tenda berdiri, bara api membesar, ternyata masih ada 3 orang dari kita yang masih berjuang di belakang menjajaki bukit terjal penyesalan. Tak lama 2 orang dari tim menyusul turun, untuk memastikan bahwa nantinya tak terjadi sesuatu yang di inginkan. Setelah sekitar 1jam di rescue, akhrnya semua berkumpul sesuai yang direncanakan.
Kaki salah satu dari tim terkena hemstring, itu sebab mengapa 2 orang masih berada di belakang. Malam kali ini kita lewati di plawangan sembalun, yang terpampang Nampak luas biru segara nak dari ketinggian. Memang cukup melelahkan malam ini, sehingga tertidur pulas kita di balik tenda yang tertancap.
Hingga pagi surya membangunkan kita pada gempita malam yang begitu lelah, tiba saatnya melakukan aktftas lagi. Racikan sayuran serta menanak nasi untuk makan pagi. Terpampang jelas segara anak dengan gunung baru yang menjulang. Tak menyangka ternyata semalam tenda kita berdiri bukan di plawangan sembalun, akan tetapi masih di gerbang menuju pelawangan sembalun, sedikit lagi sih, Cuma untuk mencari sumber air masih lumayan jauh sekitar 30menit berjalan kaki. Tak lama kita packing tenda setelah makan pagi, untuk menuju ke plawangan sembalun sebenarnya. Terlihat satu bukit mungil di hadapan mata, dan plawangan sembalun ada di balik bukit itu. Kedatangan kita di sambut oleh puluhan kera yang asik bermain di pinggir tebing.
Juga sosok puncak yang sudah jelas terlihat tinggi mengudara di balik biru cakrawala siang itu. Aktifitas siang ini adalah bersantai ria, karena nanti subuh kita akan summit attack menuju uncak rinjani. Ada juga sebagian dari tim yang rela turun ke segara anak untuk memancing. Hingga terbenam matahari, menyaksikan jingga rona surya yang tenggelam. Pada batas kabut sosoknya menyentuh pada dinding lembah. Inilah Indonesia, dimana segala olehnya adalah jutaan anugrah bagi kita yang ditawarkan.
Bara api mulai rintik menyala pada pergantian sore-malam. Dan hangat ramah tawa mengelilingi di atas plawangan sembalun. Hingga kita dipaksa untuk mengenakan jaket kembali karena suhu yang dingin. Tak lama 3 orang teman kami yang tadinya memancing tiba, membawa ikan. Sebuah kabar bahagia, karena bara api juga merona. Tak lama ikan terpanggan, menggeliat lentik agar nantinya di santap untuk menemani malam kita di plawangan sembalun.
Akhirnya malam berada tepat di sisi rembulan, bintang juga tak kalah berpijar pada bias kabut malam ini. Pukul 01.00 WIT sudah terlihat juga terdengar jejak langkah para pendaki lain yang bersiap untuk menggapai puncak rinjani. Kami pun tak ambil banyak waktu. Tak lama kemudian prepare tim segara dilakukan, dan satu per satu dari kita bngun untuk menyiapkan segala sesuatu yang memang harus disiapkan. Gigil malam itu memang kejam menghantui piker agar tak segera beranjak. Namun karena puncak sudah ada dalam baying, segeralah kita berkumpul untuk berdoa sebelum langkah kaki ini menyentuh medan.
Bismmillahirohmaniroim, dalam gigil kita ucap penuh makna, agar nantinya semua masih pada apa yang kita rencanakan. Perlahan langkah ini menapaki track pasir yang di suguhkan pagi itu, sekitar pukul 03.00 WIT, dalam gelap juga hembusan angina kecil tak luput melengkapi suasana. Nampak para wisatawan asing dengan langkah panjangnya mendahului kita secara perlahan.
Semburat pagi tak lama muncul, pancarannya memberikan semangat penuh oleh langkah kita yang hampir memudar. Terpaan angin mulai agak kencang, juga dengan medan pasir yang semakin menyusahkan kita melangkah. Namun tekad kita untuk mengibarkan bendera kopi liar tak kunjung surut. Sekitar pukul 06.30 WIT, akhrnya seluruh tim sampai di puncak tertinggi gunung rinjani, walau 3 orang ternyata ada yang sudah tidak kuat lagi menapakkinya. namun Indonesia raya sekali lagi berkumandang lantang di puncak tertinggi gunung rinjani. Sungguh jendela cakrawala luas membentang, terlihat gunung agung dengan bias paginya, dan gunung tambora yang kokoh menghadap.
Ini adalah moment yang di idamkan banyak pendaki, dimana pijakan jutaan orang telah mencapai puncaknya. Tak luput derai air mata bahagia jadi saksi bahwa kita telah menyentuh ke-Agungan Tuhan Yang Maha Besar ini. Hingga mulut tak mampu mengucap, juga jabat erat oleh perjuangan kita hingga sampai pada batas kekerdilannya. Rinjani, yah ini adalah sebuah gunung, sebuah surge kecil yang puluhan malaikat kecilnya ada disetiap hela keringat, nafas dan keluh kesah kita. Moment itupun tak luput kita abadikan dengan kamera. Setelah sekitar 30menit di puncak tertinggi gunung Rinjani, akhrnya kita turun, menuju persinggahan tenda di plawangan sembalun
Senyum kecil ini menjatuhkan kita pada lembah kebahagiaan, pada seutas tawa dan diantara riuh belantara. Sesekali masih menawarkan elok pulau Lombok dari ketinggian. Hingga tak lama tiba kita di plawangan sembalun. Suasana hangat kembali, serambi bercerita. Oleh secangkir the dan segelas kopi yang juga turut mengutarakan sepoi angina siang itu. Sebelum jam 12.00 WIT kita harus sudah turun, menuju segara anak, sebelum fajar menjelang.
Tak lama kita bergegas turun, menuruni jalur terjal menuju plawangan sembalun. Sudah terlihat memang, lambaian tangannya di balik ranting daun siang itu.Terik matahari menguras keringat yang akhrnya menetes. Medan pertama kita menuruni tebing yang melingkar seperti ular, batuan cadas masih membentang di setiap jalan. Matahari serasa tepat di atas kepala kita. Tak selang lama berjalan Nampak porter dan wisatawan asing sedang berjuang melewati tebing yang menanjak.
Sekitar 2jam kita menuruni tebing untuk menuju ke segara anak, beserta kabut di dinding tebing, kedatangan kita serontak menawarkan oleh takjubnya segara anak. Hari sudah mulai gelap, bergegas tenda pun mulai kita bentangkan kembali untuk melewati mala mini. Sudah banyak tenda yang berdiri, terlihat juga para pendaki lain yang sudah memasang kail pancingnya untuk bersiap memancing di malam hari. Ada juga warga pribumi yang hanya sekedar dating ke segara anak hanya untuk memancing dan menikmati indahnya Danau segara anak. Sebagian dari kami masih memasang tenda, dan bersiap menyiapkan menu makan malam. Juga serambi menghangatkan tubuh di sumber mata air panas, yang jaraknya tak jauh dari segara anak, sekitar 15menit berjalan kaki ke arah belakang.
Dan malam begitu hangat oleh canda tawa kami, dengan sedikit bara api dan secangkir kopi malam itu. Berharap semoga malam ini berhenti, agar kita bisa lama menatap ribuan bintang dan bulan yang memancar. Hingga kembali fajar membangunkan lelah malam kita. Nampak biru menjulang di atas lembayung cakrawala yang sinarnya tak henti menyuguhkan keindahan. Segara Anak adalah danau kawah Gunung Rinjani di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat,Indonesia. Nama Segara Anak berarti anak laut diberikan untuk itu karena warna biru mengingatkan danau laut.
Banyak hal menarik yang dapat dilakukan di danau ini. Di danau ini terdapat banyak ikan mulai dari ikan nila, mas, dan mujair. Ikan-ikan ini sengaja dikembangbiakkan oleh pemerintah dan masyarakat setempat untuk menambah daya tarik tersendiri dari danau segara anak. Jangan lupa untuk menyiapkan peralatan pancing bagi anda yang berminat mendaki gunung Rinjani.
Rencana kita pulang packing dan melanjutkan perjalanan siang ini, sangat saying keindahanmu segara anak, sejenak kita harus berat hati meninggalkanmu. Sekitar jam 13.00 kita bersiap memasukkan segala perlengkapan yang harus di bawa pulan menuju senaru. Sekitar jam 14.00 WIT kita fix untuk meninggalkannya, keindahanmu sejenak tersirat dalam bayang abadi. Untuk menuju senaru, kita harus menaiki tebing yang cukup tinggi dari segara anak. Plawangan senaru, adalah medan yang menanjak ketika kita memulai berjalan kembali dari segara anak.
Setelah 3jam berjalan, seiring bergantinya menuju petang, kita tiba di plawangan sembalun, sebuah gerbang masuk apabila kita naik gunung rinjani melalui senaru. Terlihat tenda-tenda pendaki lain yang sedang menikmati malamnya di plawangan senaru ini. Pada mula nya kita memang langsung menuju senaru, namun salah satu dari kita ada yang drop di tengah perjalanan, jadi akhirnya 1 malam kita habiskan di plawangan senaru, untuk besok paginya sebriap menuruni medan kembali, berpacu melewati rimbun nya jalur ini.
Malam ini tak kami sia2kan untuk melihat indah panorama malam, dan bergegas istirahat agar stamina kembali. Oleh lingkaran pagi menjemput sosok ke Agungan plawangan senaru yang megah. Hingga sekitar pukul 06.00 WIT kita turun melewati medan menuju Senaru. Track saat ini tak se panas jalur sembalun, karena hutan dan pepohonan yang rapat mendominasi setiap langkah kita. Hingga sekitar 4jam berjalan tiba kita pada gerbang pendakian senaru, sebuah gerbang kebahagiaan juga kesedihan bagi kita, dimana kita harus sejenak meninggalkanya Rinjani, mengukir indah kenangan panoramamu oleh setiap pikirku. Dan nampak warung kecil di sudut kanan gerbang ini, tak ambil lama kita memesan segala bentuk apapun itu yang kita inginkan. Es susu, dan minuman bersoda silih berganti mengali di setiap hela tenggorokan.
"Dan inilah kisah kita, dimana sebuah jendela cakrawala tepat berada di surga nyata Gunung Rinjani. Surga kecil yang tak kan pernah kita lupakan, sebuah persaudaraan abadi, diman kita menggenggam resah memikul asa di bawah terik-Nya. Dimana kita memacu rindu oleh keabadian-Nya, dari tapal batas yang tak berujung. Kau Rinjaniku, mengisahkan tentang segala kisah yang kelak kukabarkan"
Terima kasih kupanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa oleh segala keindahanmu yang Kau berikan untuk Aku Indonesiamu, Kedua orang tua kami dengan rahmat serta restu di setiap malam panjangku, dan terima kasih pada merah putihku, yang kali ini membentang megah di atas sana, Komunitas Kopi Liar yang dalam setiap hembusan nafasku kau yang mengajari kita tentang arti sebuah Persaudaraan Abadi, Dan seluruh anggota Komunitas ini yang tak bisa kita sebut satu per satu, Senyum ini untuk kalian, jerit lantang juga tangis ku merambah ujung cakrawala seutuhnya hanya pada seikat genggam tangan kita yang tak terlepas.
Photo-Photo Dokumentasi :
link video film dokumentasi kami http://www.youtube.com/watch?v=AOhZkIvg-tk |