“Menebang
dan Merusak Hutan Berarti Sama Saja
Membunuh
Ribuan Nyawa Manusia”
Sebuah
kutipan kata tersebut kami dapatkan ketika kami bertemu dengan Mbah Amien salah
satu sesepuh desa Sigedang, Wonosobo yang juga menjadi Juru Kunci Gunung
Sindoro yang saat ini mulai kehilangan habitat lindungnya karena kebakaran
hutan yang terjadi beberapa bulan lalu.
Sebuah ungkapan yang miris memang
ketika seharusnya manusia dapat hidup berdampingan dengan hutan serta menjaganya
agar terjaganya ekosistem kini malah justru rusak karena perbuatan manusia
sendiri yang tidak memiliki kesadaran untuk menjaga dan merawat hutan. Di
Gunung Sindoro sendiri bukan menjadi hal yang baru dari persitiwa kerusakan dan
kebakaran hutan, seakan- akan sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat
ketika melihat Gunung Sindoro ini terbakar setiap 5 tahun sekali dimana hutan
yang terbakar selalu saja disebabkan oleh gesekan dedaunan yang panas akibat
musim kemarau yang berkepanjangan, namun faktanya tidak akan selalu demikian,
hutan lindung Gunung Sindoro yang berada di dalam pengawasan perhutani tidak
seluruhnya menjadi sebuah lahan konservasi dan dilindungi oleh perhutani, ada
yang sebagian lahan hutan yang kemudian dialih fungsikan menjadi perladangan
dan sebagian lagi dijual kepada pihak swasta untuk dijadikan sebagai areal
perkebunan teh. Selain itu ada beberapa asumsi yang mencoba untuk mengungkap
terkait kinerja perhutani setempat yang menjadikan kawasan hutan lindung Gunung
Sindoro sebagai proyek dari kementrian kehutanan, yang kemudian membakar hutan
untuk mendapatkan kucuran dana untuk mengkonservasi kembali hutan yang terbakar
padahal tidak sepenuhnya kucuran dana yang diberikan oleh pemerintah
dianggarkan untuk perbaikan konservasi hutan lindung Gunung Sindoro yang
sengaja dibakar untuk mendapatkan keuntungan dari dinas terkait serta perhutani
setempat. Hal ini mebuktikan tidak adanya kepedulian bagi dari dinas terkait
dalam menjaga dan merawat hutan sebagai sumber resapan air dan mencegah terjadinya
bencana alam akibat erosi tanah pengunungan maupun banjir bandang.
Peran serta masyarakat dalam
membentuk sebuah kesadaran untuk mengembalikan fungsi dan kondisi hutan
pada sedia kala menjadi sangatlah
penting, dimana masyarakat masih perlu bergantung pada hutan. Dengan hal ini
beberapa orang dari masyarakat dukuh Sikatok, kabupaten Wonosobo memiliki
inisiatif untuk membentuk KPDH (Kelompok Pelestarian Desa Hutan) yang saat ini
di ketuai oleh Wahyu Slamet yang kini juga banyak memiliki peran untuk
mengawali kegiatan penanaman dan penghijauan di sekitar dukuh Siaktok. Wahyu
Slamet sendiri menuturkan bahwa kondisi Gunung Sindoro saat ini teramat
memprihatinkan, terjadinya kebakaran hutan beberapa bulan yang lalu di akhir
tahun 2012 dan bergantinya sebagian lahan hutan untuk wilayah perladangan
menjadi salah satu penyebab mengapa cuaca di Gunung Sindoro saat ini tidak
menentu, bahkan bisa disebut rawan untuk di daki oleh para wisatawan maupun
para pencinta alam.
Selain kondisi Kawah Gunung
Sindoro yang mulai aktif saat ini, kondisi kabut tebal dan angin besar hampir
setiap hari selalu menyelimuti kawasan jalur pendakian yang hampir sebagian
pepohonannya habis terbakar beberapa bulan lalu. Selain itu Wahyu Slamet juga
menyesalkan dengan sikap masyarakat dukuh Sikatok yang masih kurang kesadaran
untuk dapat menanam dan merawat pohon yang terdapat di sepanjang jalur
pendakian menuju puncak Sindoro. “Memang
Mas, masyarakat Sikatok saat ini lebih tertarik pada penanaman bibit yang
memiliki nilai ekonomis, seperti kentang, kopi maupun teh yang semuanya dapat
menghasilkan pemasukan keuangan bagi masyarakat dukuh Sikatok, mas”. Demikian
yang disampaikan Wahyu Slamet ketika beberapa kali bertemu dengan kami di
kediamannya di Sikatok, Wonosobo.
Lantas bagaimana dengan teman-
teman mahasiswa ketika melihat kondisi hutan- hutan di Gunung Sindoro yang
dahulu sangat indah dengan berbagai macam tumbuhan dan hewan di dalamnya saat
ini mulai terancam pada kepunahan akibat kondisi hutan yang terbakar, bahkan
beberapa tahun kedepan masyarakat maupun kita sebagai mahasiswa tidak akan pernah melihat kembali kemegahan Gunung Sindoro lagi dari sudut
langit- langit kota Wonosobo dan Temanggung, dikarenakan terjadinya erosi
besar- besaran yang mulai mengikis dataran Gunung Sindoro, yang turun berlahan
dalam bentuk banjir bandang maupun tanah longsor.
Sebuah inisiatif yang seharusnya
kita lakukan dalam bentuk kembali mengkonservasi kawasan hutan lindung di
wilayah dukuh Sikatok demi terjaganya lingkungan dan lestarinya alam di kawasan
Gunung Sindoro. Kesepakatan untuk membentuk sebuah fórum kepedulian terhadap
lingkungan hidup mengharuskan kami untuk melakukan gerakan penanaman kembali di
jalur pendakian Gunung Sindoro pada tanggal 24 Maret 2013, yang kemudian
nantinya ingin mengajak teman- teman seluruh mahasiswa Yogyakarta untuk dapat
ikut serta dalam kegiatan penanaman ini, “mari
menanam demi kelestarian dan kembalinya fungsi hutan bagi kehidupan anak cucu
kita kelak.” (Angga, Psej’09)