Selasa, 23 Juli 2013

Ayo Menanam, Jadikan Hutanku Hijau Kembali




“Menebang dan Merusak Hutan Berarti Sama Saja
Membunuh Ribuan Nyawa Manusia”

            Sebuah kutipan kata tersebut kami dapatkan ketika kami bertemu dengan Mbah Amien salah satu sesepuh desa Sigedang, Wonosobo yang juga menjadi Juru Kunci Gunung Sindoro yang saat ini mulai kehilangan habitat lindungnya karena kebakaran hutan yang terjadi beberapa bulan lalu.
Sebuah ungkapan yang miris memang ketika seharusnya manusia dapat hidup berdampingan dengan hutan serta menjaganya agar terjaganya ekosistem kini malah justru rusak karena perbuatan manusia sendiri yang tidak memiliki kesadaran untuk menjaga dan merawat hutan. Di Gunung Sindoro sendiri bukan menjadi hal yang baru dari persitiwa kerusakan dan kebakaran hutan, seakan- akan sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat ketika melihat Gunung Sindoro ini terbakar setiap 5 tahun sekali dimana hutan yang terbakar selalu saja disebabkan oleh gesekan dedaunan yang panas akibat musim kemarau yang berkepanjangan, namun faktanya tidak akan selalu demikian, hutan lindung Gunung Sindoro yang berada di dalam pengawasan perhutani tidak seluruhnya menjadi sebuah lahan konservasi dan dilindungi oleh perhutani, ada yang sebagian lahan hutan yang kemudian dialih fungsikan menjadi perladangan dan sebagian lagi dijual kepada pihak swasta untuk dijadikan sebagai areal perkebunan teh. Selain itu ada beberapa asumsi yang mencoba untuk mengungkap terkait kinerja perhutani setempat yang menjadikan kawasan hutan lindung Gunung Sindoro sebagai proyek dari kementrian kehutanan, yang kemudian membakar hutan untuk mendapatkan kucuran dana untuk mengkonservasi kembali hutan yang terbakar padahal tidak sepenuhnya kucuran dana yang diberikan oleh pemerintah dianggarkan untuk perbaikan konservasi hutan lindung Gunung Sindoro yang sengaja dibakar untuk mendapatkan keuntungan dari dinas terkait serta perhutani setempat. Hal ini mebuktikan tidak adanya kepedulian bagi dari dinas terkait dalam menjaga dan merawat hutan sebagai sumber resapan air dan mencegah terjadinya bencana alam akibat erosi tanah pengunungan maupun banjir bandang.
Peran serta masyarakat dalam membentuk sebuah kesadaran untuk mengembalikan fungsi dan kondisi hutan pada  sedia kala menjadi sangatlah penting, dimana masyarakat masih perlu bergantung pada hutan. Dengan hal ini beberapa orang dari masyarakat dukuh Sikatok, kabupaten Wonosobo memiliki inisiatif untuk membentuk KPDH (Kelompok Pelestarian Desa Hutan) yang saat ini di ketuai oleh Wahyu Slamet yang kini juga banyak memiliki peran untuk mengawali kegiatan penanaman dan penghijauan di sekitar dukuh Siaktok. Wahyu Slamet sendiri menuturkan bahwa kondisi Gunung Sindoro saat ini teramat memprihatinkan, terjadinya kebakaran hutan beberapa bulan yang lalu di akhir tahun 2012 dan bergantinya sebagian lahan hutan untuk wilayah perladangan menjadi salah satu penyebab mengapa cuaca di Gunung Sindoro saat ini tidak menentu, bahkan bisa disebut rawan untuk di daki oleh para wisatawan maupun para pencinta alam.
Selain kondisi Kawah Gunung Sindoro yang mulai aktif saat ini, kondisi kabut tebal dan angin besar hampir setiap hari selalu menyelimuti kawasan jalur pendakian yang hampir sebagian pepohonannya habis terbakar beberapa bulan lalu. Selain itu Wahyu Slamet juga menyesalkan dengan sikap masyarakat dukuh Sikatok yang masih kurang kesadaran untuk dapat menanam dan merawat pohon yang terdapat di sepanjang jalur pendakian menuju puncak Sindoro. “Memang Mas, masyarakat Sikatok saat ini lebih tertarik pada penanaman bibit yang memiliki nilai ekonomis, seperti kentang, kopi maupun teh yang semuanya dapat menghasilkan pemasukan keuangan bagi masyarakat dukuh Sikatok, mas”. Demikian yang disampaikan Wahyu Slamet ketika beberapa kali bertemu dengan kami di kediamannya di Sikatok, Wonosobo.
Lantas bagaimana dengan teman- teman mahasiswa ketika melihat kondisi hutan- hutan di Gunung Sindoro yang dahulu sangat indah dengan berbagai macam tumbuhan dan hewan di dalamnya saat ini mulai terancam pada kepunahan akibat kondisi hutan yang terbakar, bahkan beberapa tahun kedepan masyarakat maupun kita sebagai mahasiswa tidak  akan pernah melihat kembali  kemegahan Gunung Sindoro lagi dari sudut langit- langit kota Wonosobo dan Temanggung, dikarenakan terjadinya erosi besar- besaran yang mulai mengikis dataran Gunung Sindoro, yang turun berlahan dalam bentuk banjir bandang maupun tanah longsor.
Sebuah inisiatif yang seharusnya kita lakukan dalam bentuk kembali mengkonservasi kawasan hutan lindung di wilayah dukuh Sikatok demi terjaganya lingkungan dan lestarinya alam di kawasan Gunung Sindoro. Kesepakatan untuk membentuk sebuah fórum kepedulian terhadap lingkungan hidup mengharuskan kami untuk melakukan gerakan penanaman kembali di jalur pendakian Gunung Sindoro pada tanggal 24 Maret 2013, yang kemudian nantinya ingin mengajak teman- teman seluruh mahasiswa Yogyakarta untuk dapat ikut serta dalam kegiatan penanaman ini, “mari menanam demi kelestarian dan kembalinya fungsi hutan bagi kehidupan anak cucu kita kelak.” (Angga, Psej’09)

Pendakian gn.merapi pasca erupsi tahun 2010




Hari itu hari jum’at tanggal 08 Juli 2011,kami ber-3(roni kramadangsa,aan goban dan saya sendiri kippli frankenstein)berencana mendaki gn.merapi. Sebenarnya itu acara dadakan,gimana ga dadakan coba,ide muncul sekitar pukul 14.00,jam 15.00 prepare,jam 18.00 kita udah berangkat.
tujuan kami adalah ds.selo boyolali,kami berangkat dari kos sekitar jam 18.00an lah dengan peralatan yang boleh dikatakan minim,tapi tetep safety kok.

Perjalanan ke ds.selo kami tempuh kira-kira 2 jam lewat magelang,jam 20.14 kami tiba di basecamp di desa Selo kab.boyolali. sesampai di sana kami beristirahat sebentar karena rencana awal kami mulai mendaki pada pukul 23.00,dengan maksud untuk melihat sun risenya.

Perjalanan dari basecamp kira-kira kami tempuh sekitar 4-5jam untuk sampai ke puncak merapi. Tidak lama kami berjalan,secara tidak sengaja lampu senter menyorot sosok tubuh manusia dari balik rimbunan ilalang. Kami kaget,takutnya kalau itu mayat yang dibuang. Supaya tidak memperkeruh suasana yang mulai enjoy,mas aan meminta saya dan mas roni untuk lanjut terus dan jangan dipikirkan.

Perjalanan kami lumayan berat dikarenakan tracknya yang menanjak,berbatu,berpasir campur sisa-sisa debu vulkanik sisa erupsi kemarin. Alhasil jalanan menjadi licin dan gelap pula. Tapi dengan penuh semangat kami hajar habis itu track.

Jam 04.00 dini hari kami tiba di tempat yang dinamakan pasar bubrah tepat di bawah kawah/puncak merapi dan masih diselimuti abu vulkanik yang sangat tebal,sehingga disarankan memakai masker atau penutup hidung supaya partikel-partikel dari abu tersebut tidak masuk ke pernafasan. Konon ceritanya kenapa bisa dinamakan pasar bubrah itu karena kalau ada pendaki yang kehabisan bekal di tempat itu,tempat itu berubah jadi rame layaknya pasar,tapi anehnya,apabila kita membeli sesuatu di pasar bubrah itu,penjualnya ga mau dibayar sepeser pun. Itulah kenapa dinamakan pasar bubrah.

Sesampai di pasar bubrah,kami langsung mempersiapkan peralatan untuk memmasak air untuk bikin kopi dengan maksud bisa sedikit mengurangi hawa dingin yang menusuk tulang.Karena di sana memang terkenal dengan dinginnya dan cuaca yang susah ditebak.Kami tidak mendaki ke puncak dikarenakan puncak masih labil akibat erupsi  2010 dan memang sudah diingatkan ketika kita mendaftar perijinan di basecamp pendakian.

Ketika sedang menikmati kopi,sun rise pun muncul dari kejauhan,Subhanallah indah sekali. Memang tidak ada yang bisa menandingi ciptaan Tuhan YME.

Setelah puas menikmati segelas kopi dan hangatnya sunrise kami pun bersiap untuk turun kembali ke basecamp yaitu basecamp ds.Selo.Desa terakhir yang terletak tepat di bawah gunung merapi.
Sungguh pengalaman yang luar biasa bagi saya pribadi,karena ini merupakan pendakian pertama kali ke gn.merapi.

Bukanya saya mau menyombong,saya Cuma ingin menuliskan perjalanan saya sebagai memori supaya tidak pernah hilang.Lakukan itu supaya memori kalian tidak pudar seiring berjalannya waktu selain foto!     -SEKIAN-
-dheni wijaya a.k.a kippli-  15 Juli 2011